pict: Google |
Masih kuingat kemarin sore, Pak RT di sebelah rumahku menyapa saat aku pulang kerja dan beliau sedang bersantai di depan rumahnya.
"Hai, Nau," katanya kala itu.
"Sore, Pak."
"Gimana kerjaan?"
"Yaaa.. gitu-gitu ajalah, Pak. Perusahaan masih 'gila' sama aturan mereka sendiri. Aku juga bisa apa, Pak? Cuma bisa ngikutin aturan gilanya mereka."
"Yah, namanya juga kerjaan, Nau. Mau gimana lagi. Kalo betah ya lanjutin aja. Kalo nggak, ya cari kerjaan lagi. Toh hidup juga harus realistis. Kamu masih butuh duit, kan?"
Aku hanya tertawa kecil. Omongan Pak RT memang benar. Apalagi memang yang kubutuhkan? Tentu uang. Hidup di dunia ini pasti perlu uang. Bahkan saat kita nggak ada nantinya pun, tetep butuh uang.
Pagi ini pun, aku masih menyapa Pak RT saat aku membeli getuk untuk sarapan. Masih bisa kulihat tawanya yang bahagia, kemudian masuk ke dalam rumah dan bersiap untuk bekerja.
Biasanya memang aku dan Pak RT berangkat di jam yang sama, jam pulangnya pun kadang bersamaan, seringnya, beliau lebih cepat. Tapi hal ini tidak berlaku untuk besok, apalagi lusa. Karena tepat saat ia akan belok keluar gang, dia tertabrak angkutan kota dengan kecepatan yang cukup tinggi untuk kecepatan di dalam gang kecil.
Dengan cepat aku turun dari sepeda motorku untuk menolong Pak RT, banyak orang sibuk menyalahkan supir angkutan dan suara berisik mulai terdengar di sekeliling kami. Pak RT tidak mengatakan apa-apa, beliau hanya tersenyum melihatku sesaat sebelum matanya menutup.
(Surabaya, 24 Jan. 2020)
No comments:
Post a Comment